BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG MASALAH
Banyak
terjadi perbedaan pendapat mengenai qadha dan qadar. Antara satu pendapat
dengan lainnya saling bertentangan sangat jauh sekali, masing-masing merasa
benar menurut anggapannya. Mereka tak henti-hentinya memperdebatkan persoalan
qadha dan qadar, yang berpangkal kepada apakah manusia itu masayyar (mengikuti
apa-apa yang harus ia melakukannya sesuai dengan perintah), ataukah mukhayyar
(diberi kebebasan memilih mana-mana yang hendak dikerjakan sesuai dengan kehendak hatinya) ? akibat sibuk
dengan perdebatan semacam itu yang berlarut-larut kaum muslimin tidak sempat
memikirkan bidang lain yang bermanfaat untuk kemajuan ummat, seperti memikirkan
ilmu pengetahuan dan teknologi umpamanya.
Secara
garis besar, perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai qadha dan qadar itu
terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu kelompok jabariyah, kelompok
qadariyah, kelompok mu’tazilah, kelompok asy’ariyah, kelompok maturidiyah, dan
kelompok ahlussunnah wal jama’ah. Kelompok jabariyah memandang manusia sebagai
musayyar, bukan mukhayyar. Manusia itu seolah-olah suatu benda yang terpaksa
melakukan gerakan yang sebenarnya tidak sesuai dengan kemauannya. Namun karena
tertekan, ia tidak bebas memilih apa yang diinginkan. Manusia diaggap sebagai
robot yang tidak mempunyai keinginan, yang menerima dengan pasrah segala bentuk
perlakuan terhadap dirinya tanpa ada kemauan untuk membantah atau menyangkal.
Pandangan seperti itulah dianut golongan jabariah. Kelompok lain berpendapat
bahwa manusia itu bukannya musayyar, melainkan mukhayyar. Supaya kita lebih
tahu tentang permasalahan ini, maka dirasa perlu bagi kita membahas tentang
qadha dan qadar ini.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Dari
latar belakang diatas dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apakah yang dimaksud dengan qadha dan qadar ?
2.
Apa hubungan ikhtiar dengan qadha dan qadar ?
3.
Bagaimanakah pendapat golongan jabariyah, qodariyah,
mu’tazilah, asy’ariyah, maturidiyah dan ahlusunnah wal jama’ah ?
4.
Apakah hikmah dari beriman kepada qadha dan qadar ?
1.3
TUJUAN PEMBAHASAN
Tujuan
dari pembahasan ini adalah :
1.
Mengetahui tentang qadha dan qadar
2.
Mengetahui hubungan antara ikhtiar dengan qadha dan qadar
3.
Mengetahui pendapat-pendapat dari golongan teologi islam
mengenai masalah qadha dan qadar
4.
Mengetahui hikmah dari pembahasan masalah qadha dan qadar
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian qadha dan qadar
Qadha (Bahasa Arab: kehendak
(Allah) dan Qadar (Bahasa Arab:
keputusan; takdir)1 ialah takdir ketuhanan
dalam Islam.2
Percaya kepada qadha dan qadar
adalah Rukun Iman
keenam. yaitu mempercayai bahawa segala yang berlaku adalah ketentuan Allah
semata-mata.3 Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Mereka, yakni para
ulama mengatakan, ‘Qadha’ adalah ketentuan yang bersifat umum dan global sejak
zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian dan perincian-perincian dari
ketentuan tersebut".4 Dari Ibn Abbas r.a meriwayatkan bahawa
Jibrail a.s bertanya kepada Baginda Rasulullah s.a.w: apakah itu iman? Baginda
s.a.w menjawab; Imam itu ialah kamu beriman kepada Allah S.W.T, kepada Hari akhirat,
kepada malaikat-malaikat, kepada kitab-kitab, kamu beriman dengan adanya mati
dan kehidupan setelah mati, beriman dengan syurga dan neraka, Penghisaban dan
timbangan dan beriman dengan takdir yang berlaku sama ada baik atau buruk.
Jibrail a.s bertanya, jika aku buat demikian adakah aku beriman? rasulullah
s.a.w menjawab "jikalau kamu berbuat sedemikian maka kamu sudah beriman.
Hadith Musnad Ahmad.5 Sebagai seorang islam, wajiblah Muslim Yakin
bahwa segala apa yang kita hendak laksanakan tidak mampu untuk membuat
melainkan dengan adanya Izin Allah. Seseorang hendak berbuat baik atau buruk
dengan Izin Allah
- Abdul Hadi Awang (2008). Beriman kepada Qada dan
Qadar. Batu Caves: PTS Islamika. ISBN 9831921984.
- "Qadar" Mission Islam
- J. M. Cowan (ed.) (1976). The
Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic. Wiesbaden, Jerman:
Spoken Language Services. ISBN 0-87950-001-8
- Fat-hul Baari, (XI/486).
- Maulana Muhammad Yusuff
Al-Khandahlawi (2009). Muntakhab Ahadith. Sri Petaling: KLANG BOOK
CENTER. ISBN 9836101357.
Atau pun apa yang di rancang Manusia hanya
akan terlaksana jika di takdirkan Allah. Ada takdir yang mana tidak sesuai
dengan apa yang kita kehendaki dan ada takdir yang selari dengan kehendak kita.
Lahir di perut siapa keturunan apa dan sebagainya bukan sesuatu di atas pilihan
kita. Ada takdir yang selari dengan kehenadak kita seperti pilihan berbuat baik
atau jahat. kita berkehendak berbuat jahat kadang Allah izinkan dan kadang
Allah tidak Izinkan. sebab itu ia di Hisab sebab perbuatan itu atas pilihan
kita dan dengan Izin Allah sebab itu juga berbuat baik dapat pahala dan berbuat
jahat dapat dosa. Percakapan biasa dalam Bahasa Melayu "kita hanya
merencanakan dan Tuhan yang tentukan". Namun meyakini baik dan buruk dari
Allah adalah Rukun Iman. Segala sesuatu berjalan sesuai
dengan takdir dan kehendak-Nya, sedangkan kehendak-Nya itu pasti terlaksana. Tidak
ada kehendak bagi hamba-Nya melainkan memang apa yang dikehendaki-Nya. Apa yang
Dia kehendaki, pasti terjadi. Dan apa yang tidak Dia kehendaki tak akan
terjadi.6
Dari
Abu Abdul Rahman Abdullah ibn Mas'ud r.a. beliau berkata: Rasulullah SAW telah
bersabda, dan Baginda adalah seorang yang benar lagi dibenarkan (yaitu
dipercayai):
Sesungguhnya setiap orang di
kalangan kamu dihimpunkan kejadiannya dalam perut ibunya selama 40 hari berupa
air mani, kemudian menjadi segumpal darah selama tempoh yang sama, kemudian
menjadi seketul daging selama tempoh yang sama, kemudian dikirimkan kepadanya
seorang malaikat lalu dia menghembuskan padanya ruh dan dia diperintahkan
dengan 4 kalimat; yaitu supaya menulis rezekinya, ajalnya, amalannya dan adakah
dia celaka atau bahagia.
- Talkhis Syarh al-‘Aqidah al-Tahawiyyah; oleh al-Allamah
Muhammad Anwar al-Badakhsyani
Demi Allah Yang tiada Tuhan
melainkanNya, sesungguhnya salah seorang dari kalangan kamu akan beramal dengan
amalan ahli syurga, sehingga jarak antaranya dan syurga tidak lebih dari
sehasta, lalu dia didahului oleh ketentuan tulisan kitab lantas dia mengerjakan
amalan ahli neraka lalu dia memasuki neraka. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalangan kamu akan
beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga jarak antaranya dengan neraka tidak
lebih dari sehasta, lalu dia didahului oleh ketentuan tulisan kitab lantas dia
mengerjakan amalan ahli syurga lalu dia memasuki syurga.
Maka segala perbuatan telah ditakdirkan tidak
akan berlaku perubahan sedikitpun di atas apa yang tertulis di Lauhul
Mahfuz. Maka usaha itu adalah perkara asing, manusia perlu
berusaha bukan sebab usaha itu akan mengubah takdir tetapi sebab tidak ada
orang yang mengetahui apa yang ditakdirkan oleh Allah.
Allah berfirman:-
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ:
“Allah menciptakan kalian dan Allah menciptakan perbuatan
kalian” 8
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إن الله صانع كل صانع وصنعته
“Sesungguhnya Allah pencipta setiap pelaku perbuatan dan
perbuatannya” (HR.
Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 188. Dishahihkan Al Albani dalam As Silsilah Ash
Shahihah No. 1637, Al Hakim juga menshahihkan, dan disepakati Adz Dzahabi)
- Hadith
40 Imam Nawawi Hadith ke-4
- QS
As Shaffat :96
Allah juga
berfirman lagi:-
قُلْ فَلِلَّهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ فَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ
أَجْمَعِينَ:
“Katakan!
Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat, maka jika Dia menghendaki, pasti
Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.9
Maka
boleh difahami disini ayat qur’an di atas bukan berarti secara mutlak usaha itu
akan mengubah takdir tetapi usaha yang kita lakukan adalah apa yang Allah telah
takdirkan dan juga hasil dari usahapun seperti apa yang Allah takdirkan.
Boleh
berlaku kita nak pergi menunaikan Haji tetapi Allah tidak takdirkan kita untuk
pergi menunaikan Haji sedang kita dah berazam maka pada kedaan ini kita
perlukan izin Allah untuk lakukan walaupun perkara baik. Dalam kata lain Allah tidak
takdirkan kita untuk pergi Menunaikan Haji sedang pahala bagi haji yang
sempurna akan di perolei karena niat itu. Begitu juga dalam keadan satu orang
yang berazam sunguh-sunguh untuk mencuri; tetapi Allah tidak takdirkan dia
untuk curi maka dia tetap tidak akan dapat mencuri tetapi dari segi dosa dia
tetap akan dapat dosa seolah-olah dia telah mencuri.
Hadith:-
Daripada Abu al-'Abbas, Abdullah ibn Abbas, r.a beliau
berkata Aku pernah duduk di belakang Nabi SAW pada suatu hari, lalu Baginda
bersabda kepadaku: Wahai anak! Sesungguhnya aku mahu ajarkan engkau beberapa
kalimah: Peliharalah Allah niscaya Allah akan memeliharamu. Peliharalah Allah
niscaya engkau akan dapati Dia di hadapanmu.
- QS.Al-:An’am: 149
Apabila
engkau meminta, maka mintalah dari Allah. Apabila engkau meminta pertolongan,
maka mintalah pertolongan dengan Allah. Ketahuilah bahawa kalau umat ini
berkumpul untuk memberikan sesuatu manfaat kepadamu, mereka tidak akan mampu
memberikanmu manfaat kecuali dengan suatu perkara yang memang Allah telah
tentukan untukmu. Sekiranya mereka berkumpul untuk memudharatkan kamu dengan
suatu mudharat, niscaya mereka tidak mampu memudharatkan kamu kecuali dengan suatu
perkara yang memang Allah: telah tentukannya untukmu. Pena-pena telah
diangkatkan dan lembaran-lembaran telah kering (dakwahnya). Hadis riwayat al-lmam al-Tirmizi. Beliau
berkata: la adalah Hadis Hasan Sohih.10
2.2 HUBUNGAN IKHTIAR DENGAN QADHA DAN QADAR
Beriman
kepada takdir itu akan memberikan pelajaran kepada manusia bahwa segala sesuatu
yang terjadi di alam semesta ini berjalan dengan kebijaksanaan yang telah digariskan
oleh zat yang maha tinggi, Allah SWT. Oleh sebab itu, manusia yang tertimpa
musibah tidak perlu terlalu menyesalinya, sebab hal itu adalah kehendak Allah,
harus diterima dengan ikhlas. Sebaliknya manusia yang ditimpahi rahmat tidak
boleh terlalu bergembira sehingga lupa daratan.
Pada suatu hari Rasulullah Saw. Masuk kerumah
Ali r.a sehabis sholat isya. Saat itu dilihat menantunya sudah masuk tidur,
meski masih terlalu dini Beliau bersabda: “Alangkah baiknya kalau kamu
bangun dari sebagian waktu malam (untuk bersembahyang sunnat). Ali ra
menjawab: Ya Rasulullah, diri kita semua ini adalah dalam genggaman
kekuasaan Allah. Jikalau tuhan menghendaki tentu dilimpahkan kerahmatan-Nya dan
jikalau Tuhan menghendaki tentu ditariknya kembali. Mendengar jawaban itu
Rasulullah Saw. Tampak marah, beliau lalu keluar sambil memukul-mukul pahanya
dan bersabda: “Sesungguhnya manusia itu banyak sekali membantah”.11
10. Hadith 40 Imam Nawawi Hadith ke-19
11. Q.S. AL-Kahfi,13:54
Pernah pula terjadi bahwa pada masa pemerintahan khalifah Umar bin
Khatab r.a, terjadi suatu pencurian. Setelah pencuri itu tertangkap dan dibawa
kedepan Umar, lalu ditanya: “Mengapa engkau mencuri? Tiba-tiba pencuri
menjawab: “Memang Allah sudah menakdirkan ini atas diriku”. Marah sekali
beliau mendengar jawaban orang itu, kemudian berkata: “Pukul saja orang itu
tiga puluh kali dengan cemeti, setelah itu potonglah tangannya!”
orang-orang yang ada di situ bertanya: “Mengapa hukumannya diberatkan
seperti itu? Umar ra menjawab: “ Ya, itulah yang tepat”. Ia mencuri
dan wajib dipukuli tiga puluh kali karena berdusta atas nama Tuhan.
Dari firman Allah maupun kisah-kisah tersebut
diatas dapat disimpulkan bahwa takdir itu sama sekali tidak boleh digunakan
untuk landasan bertawakkal yang tidak sewajarnya. Tidak boleh pula dia
dijadikan sebab untuk melakukan kemaksiatan, bahkan tidak boleh diartikan
sebagai suatu paksaan Tuhan kepada seorang hamba-Nya. Sebaliknya, takdir itu
semestinya dianggap sebagai tantangan untuk memperkuat keinginan atau cita-cita.
Siswa atau mahasiswa yang tidak pandai, misalnya, sebaliknya merasa mendapat
tantangan untuk meningkatkan kepandaiannya, yaitu dengan menambah semangat
serta waktu belajarnya. Dari situ dapat pula diambil pelajaran bahwa takdir itu
dapat ditolak dengan ikhtiar, misalnya rasa lapar dapat dilawan dengan makan,
dahaga dilawan dengan minum, sakit dilawan dengan pengobatan sampai sehat
kembali, dan kebodohan dilawan dengan semangat serta giat belajar.
Perlu diketahui bahwa manusia tidak dapat
mengetahui takdir (ketentuan final) nya secara pasti, karena dia hanya tertulis
di Lauh Mahfudz (Q.S. al-hadid, 57:22-23).12 Maka dengan begitu
terbuka kesempatan bagi manusia untuk menjadi kreatif dan dinamis dalam
berikhtiar. Bahkan Allah memberikan kepada manusia kesempatan untuk berusaha
merubah nasib (takdir) yang melekat pada dirinya, sebagaimana firman Allah yang
artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga
mereka merubah keadaan yang ada pada dirinya sendiri.”13
12. Q.S. AL-Hadid. 57:22-23
13. Q.S. AL-Ra’ad, 13:11
2.3 QADHA DAN QADAR MENURUT ALIRAN TEOLOGI ISLAM
Adapun
didalam teologi islam terkait dengan qadha dan qadar yakni berkaitan dengan
masalah perbuatan manusia, perbuatan tuhan, dan ketetapan-ketetapannya yakni
dalam aliran qadariah, jabariah, mu’tazilah, asy-ariyah, maturidiah dan ahli
sunnah wal jama’ah. Dengan pemikiran-pemikiran mereka yakni:
1)
Aliran qadariyah
Ditinjau
dari segi ilmu bahasa, kata qadariah berasal dari kata: qadara-yaqdiru-alqadru
: atho’atu wal quwatu. Sedangkan menurut terminology, al-qadariah adalah
suatu kaum yang tidak mengakui adanya qadar bagi tuhan. Mereka menyatakan bahwa
tiap-tiap hamba Tuhan adalah pencipta bagi segala perbuatannya; dia dapat
berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Golongan yang
melawan pendapatnya mereka ini adalah al-jabariah.
Ghailan
al-damasyqi berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berkuasa atas
perbuatan-perbuatannya. Manusia melakukan perbuatan-perbuatan baik atas
kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pulalah yang melakukan atau
menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.14
Yakni
mempunyai istitha’ah. Selagi manusia hidup, dia mempunyai istitha’ah (daya)
maka dia berkuasa atas segala perbuatannya.15 manusia dalam hal ini
mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya
sendiri. Sebab itu, dia berhak mendapat pahala atas kebaikan-kebaikan yang
dilakukannya dan sebaliknya dia juga berhak memperoleh hukuman atas
kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Dengan demikian, nasib manusia tidak
ditentukan oleh tuhan terlebih dahulu dan ditetapkan sejak zaman azali seperti
pendapat yang dipegangi oleh paham al-jabariah.
14. Harun nasution, teologi islam: Aliran,
Sejarah Analisa Perbandingan, h 31
15. Ali Musthafa al-Ghurabi, tarikh al-firaq
al-islamiyah, (mesir: maktabah Muhammad ali shubaih wa auladih,t.t), hlm 201
2)
Aliran
al-jabariah
Al-jabariah
berasal dari kata jabara, berarti memaksa atau terpaksa. Menurut
al-syahrastani, al-jabr berarti meniadakan perbuatan manusia dalam arti
yang sesungguhnya (nafy al-fi’il ‘al al’abd haqiqah) dan menyandarkan
perbuatan itu kepada tuhan.16 menurut paham ini, manusia tidak kuasa
atas segala sesuatu. Karena itu, manusia tidak dapat diberi sifat ‘’mampu’’
(istitha’ah). Manusia sebagaimana dikatakan oleh jahm bin shafwan, terpaksa
atas perbuatan-perbuatannya tanpa ada kuasa (qudrah), kehendak, (iradah), dan
pilihan bebas (al-ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia,
sebagaimana perbuatan tuhan atas benda-benda mati. Oleh karena itu, perbuatan
yang harus disandarkan manusia harus dipahami secara majazy, seperti halnya
perbuatan yang disandarkan pada benda-benda. Misalnya ungkapan, ‘’pohon
berbuah, air mengalir, dan batu bergerak,’’17
Jadi,
nama al-jabariyah diambil dari kata jabara yang mengandung arti terpaksa. Dalam
aliran ini, sebagaimana dijelaskan Harun Nasution, terdapat paham bahwa manusia
mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah inggris, paham
ini disebut fatalisme atau predestination. Perbuatan-perbuatan manusia telah
ditentukan sejak semula oleh qadha dan qadar Tuhan.18
Al-Syahrastani
membagi al-jabariah ke dalam dua kelompok , yaitu al-jabariah ekstrim
(al-khalisah) dan al-jabariah moderat (al-mutawassithah). Al-jabariyah ekstrim
tidak menetapkan perbuatan kepada manusia sama sekali, tidak pula kekuasaan
atau daya untuk menimbulkan perbuatan. Sementara al-jabariah moderat mengakui
andil manusia atas perbuatannya.19
16. abu al-fath Muhammad abdul karim bin abi bakr
ahmad al-syahrastani, al-milal wa al-nihal, (Beirut : dar al
fikr,t,th,),hlm.115
17. abu al fath Muhammad abdul karim bin abi bakr
ahmad al-syahrastani, al-milal wa al-nihal, hlm 87. lihat pula Muhammad abu
zahrah, tarikh al-mazahib al-islamiyah, (kairo:dar al-fikr al-arabi, t,th,),
jilid I, hlm. 115.
18. harun nasution, teologi islam: aliran,
sejarah analisa perbandingan, (Jakarta: UI press,1972), hlm, 31.
19. abu al fath Muhammad abdul kaarim bin abi bkr
ahmad al-syahrastani, al-milal wa al-nihal, hlm,85.
3)
Aliran mu’tazilah
Mu’tazilah
berasal dari kata (I’tazala-ya’tazilu) yang berarti memisahkan diri atau
menjauhi atau menyisihkan diri. Kaum mu’tazilah disebut juga dengan
mutakallimin karena mereka banyak menggunakan Ilmu Kalam dalam mempertahankan
pemikiran mereka. Bila ditinjau dari sejarah ilmu kalam, sebab-sebab timbulnya
ilmu baru ini dapat dibagi atas: sebab-sebab intern dan sebab-sebab ekstern. Al
–mu’tazilah sebagai aliran kaum rasional, disamping memberikan daya yang besar
kepada akal, juga memberikan kebebasan kepada manusia untuk melaksanakan
kehendak dan perbuatan. Karenanya menurut paham mu’tazilah, kehendak dan
kekuasaan mutlak tuhan tidak bersifat mutlak lagi, tetapi sudah terbatas.
Keterbatasan kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan itu terjadi oleh adanya
pembatasan yang diciptakan-Nya sendiri, yaitu dengan menciptakan kebebasan
berkemauan dan berbuat bagi manusia, hukum alam (sunnatullah), norma-norma
keadilan, dan kewajiban tuhan itu terhadap manusia.1
Paham
tentang kebebasan berkemauan dan berbuat bagi manusia dalam pandangan
mu’tazilah, bertitik tolak dari pandangan bahwa perbuatan manusia tidaklah
diciptakan oleh tuhan, tetapi manusia sendiri yang menciptakannya.2
Konsekuensi
dari pemberian kebebasan berkemauan dan berbuat kepada manusia, berarti tuhan
telah membatasi kehendak mutlak-Nya sendiri, yang kalau dilanggarnya akan
menghilangkan keadilan-Nya.
Dengan
kebebasan berkemauan dan berbuat, berarti manusia merdeka dalam menentukan nasibnya sendiri. Kebebasan ini
akan membawa kepada tanggung jawab pribadi. Segala perbuatannya baik maksiat
yang mendatangkan dosa, maupun ketaatan yang mendatangkan pahala adalah
tanggung jawab yang harus dipikul oleh seseorang.
1.
Harun nasution, teologi islam : aliran, sejarah analisa
perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1972), hlm. 119
2.
abdul jabbar al-qadhi, syarh al-ushul al khamsah, (kairo:
maktabah al-wahbiyah, 1965), hlm. 323.
4)
Al-as’ariyah
Al’asy’ari
berpendapat bahwa perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan. Ini bertolak
belakang dengan pendapat mu’tazilah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia
diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan
manusia dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, al-asy’ari menggunakan
istilah al-kasb (acquisition, perolehan). Al-kasb adalah sesuatu
yang timbul dari al-muktasib. Yang dimaksud dengan kasb disini adalah
‘’berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan’’.
Al-asy’ari
tidak menyetujui paham al-mu’tazilah tentang keadilan Tuhan. Al-asy’ari
mengatakan bahwa tidak ada satu pun yang wajib bagi Tuhan. Tuhan adalah
berkuasa mutlak. Andaikala Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam surga, hal
ini bukan berarti Dia tidak adil. Sebaliknya, andaikata Tuhan memasukkan
seluruh manusia ke dalam neraka maka Tuhan tidak dapat dikatakan bersifat
zalim,1 Tuhan adalah penguasa mutlak, bisa berbuat apa saja yang Dia
inginkan.
Pendapat
al-asy’ari tentang kekuasaan Tuhan diatas, sekaligus juga menolak paham al-manzilah
bain al manzilatain yang dianut oleh aliran al-mu’tazilah. Menurut
al-mu’tazilah, orang yang berbuat dosa besar tidak mukmin dan tidak kafir.
Apabila orang tersebut meninggal dunia akan dimasukkan ke dalam neraka, kecuali
dia sebelumnya bertaubat dengan taubatan nasuha. Bagi pembuat dosa besar yang
masuk neraka, siksaan yang diberikan kepada mereka lebih ringan dari pada
siksaan orang-orang kafir. Bagi pembuat dosa besar yang bertaubat, Tuhan akan
menerima taubatnya dan memasukkannya kedalam surga. Menurut al-asy’ari orang yang
berbuat dosa besar tetap mukmin. Apabila pembuat dosa besar itu meninggal dunia
sebelum sempat bertaubat, hukumnya diserahkan kepada Allah SWT, dengan beberapa
kemungkinan:
a.
Allah mengampuni pelaku dosa besar tersebut dengan
rahmat-Nya sehingga pelaku dosa besar itu dimasukkan ke surga.
b.
Pelaku dosa besar itu mendapat syafaat dari Nabi,
berdasarkan hadis “syafa’ata li ahli al-kabaari min ummati’’
1.
Abu al-fath Muhammad abdul karim bin Abi bkr
ahmad al-syahrastani, al-milal wa al-nihal, hlm.101
c.
Allah akan menghukum pelaku dosa besar itu ke dalam
neraka sesuai dengan dosa yang dilakukannya, kemudian Allah memasukkan ke dalam
surga.2
Al-asy’ari
juga menolak pendapat mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah wajib menerima
taubat pembuat dosa besar. Menurut al-asy’ari, jika pembuat dosa besar
bertaubat, Allah tidak wajib menerima taubatnya. Karena Allah yang membebani
kewajiban terhadap makhluk-Nya maka tidak ada kewajiban atas-Nya.3
Kaum
al-asy’ariah, karena percaya pada mutlaknya kekuasaan Tuhan, mempunyai tendensi
yang sebaliknya mereka menolak paham mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan
dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak
mempunyai tujuan, tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat
sesuatu. Betul mereka akui bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan
dan keuntungan bagi manusia manusia dan bahwa Tuhan mengetahui kebaikan
kebaikan dan keuntungan itu, tetapi pengetahuan maupun kebaikan serta
keuntungan-keuntungan itu, tidaklah menjadi pendorong bagi Tuhan untuk berbuat.4
Tuhan berbuat semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan
karena kepentingan manusia atau tujuan lain. Dengan demikian mereka mempunyai
tendensi untuk meninjau wujud dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
5)
Aliran Al-maturidiyah
Golongan
al-maturidiyah, dalam memahami kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan terpecah
menjadi dua kelompok, yaitu al-maturidiyah Samarkand dan al-maturidiyah
Bukhara.
Al-maturidiayah
Samarkand yang lebih banyak mempergunakan akal dalam pendapatnya sehingga lebih
dekat dengan pemahaman mu’tazilah.
2.
Abu al-fath Muhammad abdul karim bin Abi bkr ahmad
al-syahrastani, al-milal wa al-nihal, hlm.101
3.
Abu al-fath Muhammad abdul karim bin Abi bkr ahmad
al-syahrastani, al-milal wa al-nihal, hlm.101
4.
‘abduh, 558/9.
Menurut
al-maturidi, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu hanya dibatasi oleh
kebebasan manusia yang diberikan oleh Tuhan sendiri dan keadaan Tuhan yang
menjatuhkan hukum sewenang-wenang tidak boleh terjadi.5
Untuk
memperkuat pandangannya di atas, al-maturidiyah Samarkand mempergunakan
dalil-dalil naqli antara lain seperti
dalam surat al-maaidah ayat 48, al-an’am ayat 149. Ayat-ayat ini, dipahami oleh
al-maturidi bahwa Tuhan sebenarnya berkuasa membuat manusia yang ada di bumi
menjadi beriman, atau membuat manusia berada dalam hidayah Allah. Namun, Allah
tidak melakukannya disebabkan oleh kemerdekaan berkemauan dan berbuat apa yang
memang ada pada diri manusia.
Lebih
lanjut al-maturidiyah Bukhara ini menganut paham masyi’ah dan ridha yang
memandang bahwa manusia melakukan perbuatan adalah kehendak Tuhan, namun tidak
semuanya menurut ridha-Nya. Manusia melakukan perbuatan baiknya atas kehendak
Tuhan dan ridha-Nya. Sebaliknya, bila manusia melakukan perbuatan jahat, hal
itu juga merupakan kehendak Tuhan, tetapi bukan atas ridha-Nya.6
Dari
keterangan diatas jelas bahwa al-maturidiyah Bukhara hampir sepaham dengan
al-asy’ariyah.
Menurut
al-bazdawi, Tuhan menciptakan kosmos ini bukan karena ada tujuan tertentu,
namun Tuhan berbuat sekehendak hati-Nya.7
Dalam
paham keadilan Tuhan, al-maturidiyah Bukhara mengambil posisi yang lebih dekat
dengan al-asy’riyah. Al-maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa keadilan Tuhan
haruslah dipahami dari konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
5.
harun nasution, teologi islam: Aliran, sejarah analisa
perbandingan, hlm. 122.
6.
Al-Dawwani, syarh al-‘aqaid adh-adhudiyah, dalam (ed),
sulaiman dunya, al-sya’ilah Muhammad abduh bain al- falasifah wa al-kalam ,
(kairo: ‘Isa al-babi al-halabi, 1958), hlm. 42 abdurrahman al-badawi, madzahib
al-islamiyah, hlm.125.
7.
Abu al-yusuf Muhammad al-bazdawi, kitab ushul al-Din,
(kairo:’ Isa al-Babi al- halabi, 1963), hlm. 125
Secara
jelas al-bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak
mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat
sekehendak-Nya sendiri.8 ini berarti, menurut Harun Nasution, al-bazdawi
berpendapat bahwa alam ini tidak di ciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan
manusia.9
Atau
dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan pada kepentingan
manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak. Menurutnya, sesungguhnya
berbuat buruk atas kehendak Tuhan, tetapi perbuatan itu tidak di ridhai Tuhan.
Menentang ridha Tuhan tidak dapat dikatakan bahwa Tuhan bersifat tidak adil,
kalau ia memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat.
Sedangkan
bagi al-maturidiyah Samarkand, yang memunyai sikap dasar terhadap kebebasan
manusia dalam kehendak dan perbuatan sama dengan paham mu’tazilah. Aliran ini
menggaris bawahi bahwa makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan zalim
Tuhan terhadap manusia.
Tuhan
tidak akan membalas kejahatan, kecuali dengan balasan yang seimbang dengan
kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya dan juga tidak
memungkiri janji-janji-Nya yang telah di sampaikan kepada manusia.
Untuk
mendukung pandangan tersebut al-maturidiyah menggunakan ayat al-qur’an sebagai
penguat atas pemikirannya itu, yakni pada surat al-an’am ayat 160, yang
artinya:
Barangsiapa yang membawa amal yang baik, baginya
(pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan
jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya,
sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (diragukan). (Q.S al-An’am (6):160)
Dan
juga pada surat Al-Ra’ad ayat 13, yang artinya:
Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji-Nya. (Q.S Al-Ra’ad (13):31)
8.
abu al-yusuf Muhammad al-bazdawi, kitab Ushul al-Din,
hlm.130
9.
Harun Nasution,
Teologi islam: aliran, sejarah analisa perbandingan, hlm. 124.
6)
Aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Aliran
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini adalah golongan teologi islam yang termasuk dalam
kaumnya al-asy’ariyah dan kaum al-maturidiyah. Sebagai akibat dari perbedaan
paham yang terdapat dalam aliran teologi islam mengenai soal kekuatan akal,
fungsi wahyu, dan kebebasan serta kekuasaan manusia atas kehendak dan
perbuatannya, terdapat pula perbedaan paham tentang kekuasaan dan kehendak
Tuhan.
Bagi
aliran yang berpendapat mengenai akal mempunyai daya besar dan manusia bebas
dan berkuasa atas kehendak dan perbuatannya, kekuasaan dan kehendak Tuhan pada
hakikatnya mutlak semutlak-mutlaknya. Bagi aliran yang berpendapat sebaliknya,
kekuasaan dan kehendak Tuhan tetap bersifat mutlak, sedangkan bagi kaum
mu’tazilah, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak lagi mempunyai sifat mutlak
semutlak-mutlaknya.
Dalam
menjelaskan kemutlakan kekuasaaan dan kehendak Tuhan ini, al-asy’ari dalam
al-ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapa pun; diatas Tuhan tidak ada zat
lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan
apa yang tidak boleh dibuat Tuhan.1
Tuhan
bersifat absolute dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Seperti kata al-Dawwani,
Tuhan adalah pemilik (Al-Malik) yang bersifat absolut dan berbuat apa saja yang
dikehendaki-Nya di dalam kerajaan-Nya dan tak seorang pun yang dapat mencela
perbuatan-Nya.2 didalam pemikiran al-maturidiah juga sama dengan
pendapatnya al-asy’ariyah karna mereka adalah satu kawasan atau satu persoalan
dan pendapat dan pendapat mereka ini melahirkan aliran ahlus sunnah wal
jama’ah.
Kemutlakan
dan kekuasaan Tuhan dilihat dari kaum al-asy’ari bahwa Tuhan dapat meletakkan
beban yang tak terpikul pada diri manusia.3 Dan dari keterangan
al-asy’ari sendiri, bahwa sekiranya Tuhan mewahyukan bahwa berdusta adalah
baik, maka berdusta mestilah baik bukan buruk.4
1.
Harun Nasution,
Teologi islam: aliran, sejarah analisa perbandingan, hlm. 68
2.
‘abduh, Muhammad, sulayman dunya (Ed.) hashiyah ‘ala
al-‘aqaid al-‘adudiah, dalam al-shaykh Muhammad ‘aabduh bayn al-falasifah wa
al-kalamiyin, kairo’isa al-halaabi, 1958. hlm. 546
3.
supra, 81
4.
LE systeme philosohpique des mu’tazilah, (selanjutnya
disebut Le systeme) beyrouth, Les Letter Orientales, 1956, hlm. 82.
Ahlus sunnah wal jama’ah di dalam berpandangan
mengenai qadha dan qadar sangat jelas bahwa mereka berpandangan Tuhan sebagai
penentu dari apa-apa yang di perbuat manusia. Pendapat al-asy-ari mewakili
pendapatnya ahlus sunnah wal jama’ah yang memandang manusia itu hanyalah
berfungsi sebagai pelaku dari amalan-amalan itu saja. Allah yang menciptakan
suatu amalan ketika melakukannya. Misalnya Allah ta’ala menjadikan larangan di
waktu manusia itu makan, menciptakan kepandaian di waktu manusia itu belajar,
dan seterusnya. Jadi tugas manusia itu tidak ada lain kecuali melaksanakan apa
saja perbuatan itu.
Dan Tuhan menyertai apa yang di perbuatnya itu,
apakah atas dasar perindah agama, dia berhaki memperoleh pahala atau siksa,
pujian atau celaan. Nampaknya pendapat yang ketiga ini merupakan garis tengah antara
kedua pendapat yang lain. Kalau merendahkan menganggap manusia tidak memiliki
kebebasan menentukan apapun untuk dirinya sendiri.
2.4 MENGETAHUI HIKMAH DARI QADHA DAN QADAR
Di dalam Al-qur’an Surat Al- Hadid, 57 : 22-23
Yang artinya:
‘’tidak suatu bencanapun yang menimpa dibumi dan
(tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh
mahfudz) sebelum kami menciptakan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah.
(kami jelaskan dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa
yang diberikan-Nyak kepadamu, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang
sombong lagi menggambarkan diri.’’
Dari firman di atas, dapat diambil beberapa
kesimpulan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan hikmah dari qadha dan qadar
sebagai berikut:
1.
Mendorong untuk giat dan
semangat bekerja1
1.
Drs, Zainuddin, AR, dan Drs
Aziz Dahlan, 1992, Aqidah Akhlak, untuk madrasah aliyah kelas 1, Jakarta,
departemen agama. hlm. 277.
Dalam ayat diatas bahwa disebutkan bahwa, setiap
bencana yang terjadi di bumi ini dan yang menimpa manusia, sebelumnya telah
tercatat terlebih dahulu di dalam ‘’lauh mahfudz’’atau papan tulis yang
terpelihara, tidak diketahui manusia. Tidak ada seorang manusiapun yang dapat
mengetahui dengan pasti taqdir dirinya, apakah ia bodoh atau pandai, apakah ia
akan bahagia atau sengsara.
Kalau taqdir itu telah diketahui sebelumnya,
misalnya taqdir “bodoh”, maka manusia yang mendapatkan taqdir bodoh itu akan
pasif, tidak akan mau belajar agar menjadi pandai. Menurutnya percuma saja
belajar giat kalaupun ketentuan akhirnya bodoh juga. Sebaliknya dengan tanpa
mengetahui taqdir bodohnya itu, manusia dapat mendorong untuk selalu giat
belajar agar menjadi pandai. Dan ia masih dapat berharaf.
Menurut al-bazdawi, Tuhan menciptakan kosmos ini
bukan karena adanya tujuan tertentu, namun berbuat sekehendak hati-Nya.1
Tuahn mempunyai kekuasaan mutlak dalam berbuat dan menentukan segala sesuatu,
dan tidak ada siapapun yang dapat manghalangi-Nya (menghalangi kehendak Tuhan).
Tetapi manusia akan mendapat balasan dengan apa yang diperbuat-Nya karena menurut mu’tazilah bahwa keterbatasan
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu terjadi oleh adanya pembatasan yang
diciptakan-Nya sendiri, yaitu dengan menciptakan kebebasan berkemauan dan
berbuat bagi manusia, hukum alam (sunnatullah), norma-norma keadilan, dan
kewajiban Tuhan itu sendiri terhadap manusia.2
Segala sesuatu ada timbal baliknya, saling berkaitan
dengan yang lainnya, siang dan malam, atas dan bawah, neraka dan surga,
kebaikan dan keburukan, manusia yang melakukan perbuatan tercela akan
mendapakan dosa nantinya, sebaliknya jika dia melakukan perbuatan baik maka
pahala yang mereka dapatkan sehingga yang hanya satu adalah Sang pencipta itu
sendiri Allah SWT.
1.
Drs, Zainuddin, AR, dan Drs
Aziz Dahlan, 1992, Aqidah Akhlak, untuk madrasah aliyah kelas 1, Jakarta,
departemen agama. hlm.277.
2.
Harun nasution, teologi islam : aliran, sejarah analisa
perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1972), hlm. 119
3.
Mendorong rasa percaya diri dan
optimis
Setiap orang harus yakin dan percaya kepada qadha
dan qadar. Orang yang percaya kepada qadha dan qadar akan dapat menerima apapun
yang menimpa dirinya dengan ikhlas dan tawakkal. Di lain pihak, dia tidak akan
putus harapan, sebab meyakini janji Tuhan berdoalah kepada-Ku, niscaya akan
Kukabulkan dan Innallaha ma’a shobirin. Maka dia akan selalu menghadapi segala
macam persoalan yang dijumpai dengan penuh harap atas pertolongan Tuhan. Ia
yakin terhadap ketentuan dan kekuasaan Allah karena tidak ada kekuasaan selain
diri-Nya dan tidak ada seorangpun yang menghalang-halangi kehendak-Nya.
Ungkapan keyakinan semacam itu sering diucapkan seorng muslim pada saat
memanjatkan doanya kehadirat Ilahi setelah selesai ibadah sholat.
4.
Dapat terhindar dari rasa putus
asa
Tidak jarang terjadi di dalam lingkungan masyarakat
bahkan tertulis dalam berita di media massa, seseorang yang mengalami kegagalan
dalam mencapai sesuatu yang dicita-citakannya menjadi resah dan gelisah. Dia
menjadi putus asa dan bahkan ada yang diantaranya yang berusaha untuk lari dari
persoalan yang dihadapinya dengan mengambil jalan pintas, yakni melakukan bunuh
diri.
Bunuh diri hanya pantas dilakukan oleh orang yang
tidak beriman kepada qadha dan qadar saja. Kalaulah mengalami kegagalan dalam
meraih sesuatu yang dicita-citakannya ia tidak akan putus asa karena ia
mempunyai keyakinan bahwa kewajiban dirinya hanya sekedar berusaha sedangkan
keputusan berhasil atau tidaknya ditentukan oleh Allah Swt. Ia akan berlindung
dan berserah diri kepada-Nya. Dengan cara demikian terhindarlah hatinya dari
dihinggapi perasaan resah dan gelisah yang dapat membawa dirinya putus asa.3
3. Drs, Zainuddin, AR, dan Drs Aziz Dahlan,
1992, Aqidah Akhlak, untuk madrasah aliyah kelas 1, Jakarta, departemen agama.
hlm. 279
4.
Menghilangkan sifat kesombongan
Sifat sombong pada seseorang biasanya muncul
bersamaan dengan munculnya perasaan lebih, merasa lebih kaya, merasa lebih
pandai, lebih unggul dan lain sebagainya. Orang yang sombong itu tidak
menyadari bahwa berbagai macam kelebihan yang dari Allah Swt.
Kalau orang yang beriman kepada qadha dan
qadar memperoleh kelebihan rizki, dia tidak lantas menjadi lupa dan menjadi
sombong. Ia sadar bahwa kelebihan yang diperolehnya semata-mata anugrah yang
dibrikan oleh Allah, ketentuan Allah pada dirinya yang harus diterima dengan
rasa syukur.
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar yakin
dan percaya bahwa kelebihan itu merupakan amanat dan sekaligus cobaan baginya,
apakah dia termasuk golongannya orang-orang yang bersyukur. Dengan demikian
orang yang beriman kepada qadha dan qadar itu jauh dari kesombongan.4
Untung dan baiknya itu dari Allah Ta’ala. Jika
kita ditanyai orang, bagaimanakah kepercayaanmu dengan qadha dan qadar Allah
Swt ? kami percaya dengan qadar, yakni perhinggaan atau taqdir Allah.
Bahwasanya segala apa yang terjadi atas dari seseorang itu semuanya dari Allah
Ta’ala, yakni telah ditakdirkan Allah yang menyusun dan menentukan segala yang
telah terjadi atau yang terjadi. Dan bagi segenap manusia itu ada usaha dan
ikhtiar. Usaha dan ikhtiar manusia itu tak dapat tercapai apa yang
dimaksudkannya, jika tidak bersetuju dengan kehendak Allah yang memiliki
sekalian Alam ini.
Segala fikiran dan usaha-usaha manusia yang
telah tercapai bukan karena kepandaiannya, hanya sesungguhnya telah ditentukan
Allah yang maha adil dan maha kuasa. Bahkan akal dan fikiran yang ada padanya
itu, semuanya karunia dan anugrah dari Allah Swt.5
4. Drs, Zainuddin, AR, dan Drs Aziz Dahlan,
1992, Aqidah Akhlak, untuk madrasah aliyah kelas 1, Jakarta, departemen agama.
hlm..280.
5. S.A. Zainal ‘Abidin, Tauhid dan Fiqih
“Kunci Ibadah”, C.V TOHA PUTRA: Semarang, 1951. hlm.21.
BAB III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
Dari beberapa
pendapat yang telah disampaikan dapat kita simpulkan sebagai berikut:
1.
Meyakini qadha dan qadar, berarti meyakini adanya aturan dan ketentuan
Allah Swt.
2.
Untuk menentukan qadha dan qadar yang akan menimpa seseorang, diperlukan
adanya ikhtiar dari orang yang bersangkutan.
3.
Di antara hikmah beriman kepada qadha dan qadar itu aialah:
a.
Mendorong orang untuk giat dan semangat bekerja
b.
Menumbuhkan rasa percaya diri dan ketenangan
c.
Dapat terhindar dari raa putus asa
d.
Menghilangkan kesombongan
4.
Beberapa pendapat yang berhubungan dengan qadha dan qadar:
A.
Qadariyah: manusia itu mukhayyar, bukan musayyar. Segala perbuatan atau
amalan yang dilakukannya sepenuhnya menurut kehendaknya sendiri.
B.
Jabariyah: manusia itu hanyalah musayyar, bukan mukhayyar. Segala
perbuatan atau amalan yang dilakukan oleh manusia itu hanya semata-mata karena
disuruh, ia tidak dapat memilih amalan sesuai dengan kehendaknya sendiri.
C.
Mu’tazilah: kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan tidak
bersifat mutlak lagi, tetapi sudah terbatas. Keterbatasan kekuasaan dan
kehendak mutlak tuhan itu terjadi oleh adanya pembatasan yang diciptakan-Nya
sendiri, yaitu dengan menciptakan kebebasan berkemauan dan berbuat bagi
manusia, hukum alam (sunnatullah), norma-norma keadilan, dan kewajiban Tuhan
itu terhadap manusia.
D.
Asy’ariyah: Untuk
menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan mutlak
Tuhan, al-asy’ari menggunakan istilah al-kasb (acquisition, perolehan).
Al-kasb adalah sesuatu yang timbul dari al-muktasib. Yang dimaksud dengan kasb
disini adalah ‘’berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan’’.
E.
Maturidiah:
Menurut al-maturidi, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu hanya dibatasi
oleh kebebasan manusia yang diberikan oleh Tuhan sendiri dan keadaan Tuhan yang
menjatuhkan hukum sewenang-wenang tidak boleh terjadi.
F.
Ahlus sunnah wal jama’ah:
manusia itu hanya berfungsi sebagai pelaku dari amalan-amalannya. Artinya ia
dapat memilih amalan, apa yang ingin diperbuatnya, tetapi ketentuan Allah
berlaku tehadapnya.
Dari pemaparan-pemaparan ini kita bisa menjadikan acuan untuk menjadikan kehidupan kita
menjadi lebih baik dan besemangat di dalam beribadah sebagai hamba-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 1972 . Teologi Islam :
Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.
--------------------. 1986.Islam ditinjau dari
berbagai aspeknya. Jakarta: UI Press.
Awing, Abdul Hadi. (2008). Beriman kepada Qada
dan Qadar. Batu Caves: PTS Islamika. ISBN 9831921984.
J. M. Cowan (ed.) (1976). The Hans Wehr
Dictionary of Modern Written Arabic. Wiesbaden, Jerman: Spoken Language
Services. ISBN 0-87950-001-8
Al-Khandahlawi, Maulana
Muhammad Yusuff. (2009). Muntakhab
Ahadith. Sri Petaling: KLANG BOOK CENTER. ISBN 9836101357.
Zainal
‘Abidin, S.A (1951). Tauhid dan Fiqih. C.V. TOHA PUTRA SEMARANG
Nurdin, amin. Fauzi Abbas, Afifi. Sejarah Pemikiran
Islam, Jakarta: AMZAH, 2011. ISBN 978-602-8689-52-6.
http://www.salafy.or.id/salafy.php?menu=detil&id_artikel=423. Qadla’ dan Qadar Allah”, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar