Jumat, 06 Desember 2013

BAB I
PENDAHULUAN

1.1   LATAR BELAKANG MASALAH

Banyak terjadi perbedaan pendapat mengenai qadha dan qadar. Antara satu pendapat dengan lainnya saling bertentangan sangat jauh sekali, masing-masing merasa benar menurut anggapannya. Mereka tak henti-hentinya memperdebatkan persoalan qadha dan qadar, yang berpangkal kepada apakah manusia itu masayyar (mengikuti apa-apa yang harus ia melakukannya sesuai dengan perintah), ataukah mukhayyar (diberi kebebasan memilih mana-mana yang hendak dikerjakan  sesuai dengan kehendak hatinya) ? akibat sibuk dengan perdebatan semacam itu yang berlarut-larut kaum muslimin tidak sempat memikirkan bidang lain yang bermanfaat untuk kemajuan ummat, seperti memikirkan ilmu pengetahuan dan teknologi umpamanya.
Secara garis besar, perbedaan pendapat dikalangan ulama mengenai qadha dan qadar itu terbagi menjadi beberapa kelompok, yaitu kelompok jabariyah, kelompok qadariyah, kelompok mu’tazilah, kelompok asy’ariyah, kelompok maturidiyah, dan kelompok ahlussunnah wal jama’ah. Kelompok jabariyah memandang manusia sebagai musayyar, bukan mukhayyar. Manusia itu seolah-olah suatu benda yang terpaksa melakukan gerakan yang sebenarnya tidak sesuai dengan kemauannya. Namun karena tertekan, ia tidak bebas memilih apa yang diinginkan. Manusia diaggap sebagai robot yang tidak mempunyai keinginan, yang menerima dengan pasrah segala bentuk perlakuan terhadap dirinya tanpa ada kemauan untuk membantah atau menyangkal. Pandangan seperti itulah dianut golongan jabariah. Kelompok lain berpendapat bahwa manusia itu bukannya musayyar, melainkan mukhayyar. Supaya kita lebih tahu tentang permasalahan ini, maka dirasa perlu bagi kita membahas tentang qadha dan qadar ini.




1.2 RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang diatas dapat diambil beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1.        Apakah yang dimaksud dengan qadha dan qadar ?
2.        Apa hubungan ikhtiar dengan qadha dan qadar ?
3.        Bagaimanakah pendapat golongan jabariyah, qodariyah, mu’tazilah, asy’ariyah, maturidiyah dan ahlusunnah wal jama’ah ?
4.        Apakah hikmah dari beriman kepada qadha dan qadar ?

1.3  TUJUAN PEMBAHASAN
      
Tujuan dari pembahasan ini adalah :
1.        Mengetahui tentang qadha dan qadar
2.        Mengetahui hubungan antara ikhtiar dengan qadha dan qadar
3.        Mengetahui pendapat-pendapat dari golongan teologi islam mengenai masalah qadha dan qadar
4.        Mengetahui hikmah dari pembahasan masalah qadha dan qadar












BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian qadha dan qadar

Qadha (Bahasa Arab: kehendak (Allah) dan Qadar (Bahasa Arab: keputusan; takdir)1  ialah takdir ketuhanan dalam Islam.2 Percaya kepada qadha dan qadar adalah Rukun Iman keenam. yaitu mempercayai bahawa segala yang berlaku adalah ketentuan Allah semata-mata.3 Ibnu Hajar al-Asqalani berkata, “Mereka, yakni para ulama mengatakan, ‘Qadha’ adalah ketentuan yang bersifat umum dan global sejak zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian dan perincian-perincian dari ketentuan tersebut".4 Dari Ibn Abbas r.a meriwayatkan bahawa Jibrail a.s bertanya kepada Baginda Rasulullah s.a.w: apakah itu iman? Baginda s.a.w menjawab; Imam itu ialah kamu beriman kepada Allah S.W.T, kepada Hari akhirat, kepada malaikat-malaikat, kepada kitab-kitab, kamu beriman dengan adanya mati dan kehidupan setelah mati, beriman dengan syurga dan neraka, Penghisaban dan timbangan dan beriman dengan takdir yang berlaku sama ada baik atau buruk. Jibrail a.s bertanya, jika aku buat demikian adakah aku beriman? rasulullah s.a.w menjawab "jikalau kamu berbuat sedemikian maka kamu sudah beriman. Hadith Musnad Ahmad.5 Sebagai seorang islam, wajiblah Muslim Yakin bahwa segala apa yang kita hendak laksanakan tidak mampu untuk membuat melainkan dengan adanya Izin Allah. Seseorang hendak berbuat baik atau buruk dengan Izin Allah


  1. Abdul Hadi Awang (2008). Beriman kepada Qada dan Qadar. Batu Caves: PTS Islamika. ISBN 9831921984.
  2. "Qadar" Mission Islam
  3.  J. M. Cowan (ed.) (1976). The Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic. Wiesbaden, Jerman: Spoken Language Services. ISBN 0-87950-001-8
  4. Fat-hul Baari, (XI/486).
  5.  Maulana Muhammad Yusuff Al-Khandahlawi (2009). Muntakhab Ahadith. Sri Petaling: KLANG BOOK CENTER. ISBN 9836101357.
Atau pun apa yang di rancang Manusia hanya akan terlaksana jika di takdirkan Allah. Ada takdir yang mana tidak sesuai dengan apa yang kita kehendaki dan ada takdir yang selari dengan kehendak kita. Lahir di perut siapa keturunan apa dan sebagainya bukan sesuatu di atas pilihan kita. Ada takdir yang selari dengan kehenadak kita seperti pilihan berbuat baik atau jahat. kita berkehendak berbuat jahat kadang Allah izinkan dan kadang Allah tidak Izinkan. sebab itu ia di Hisab sebab perbuatan itu atas pilihan kita dan dengan Izin Allah sebab itu juga berbuat baik dapat pahala dan berbuat jahat dapat dosa. Percakapan biasa dalam Bahasa Melayu "kita hanya merencanakan dan Tuhan yang tentukan". Namun meyakini baik dan buruk dari Allah adalah Rukun Iman. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan takdir dan kehendak-Nya, sedangkan kehendak-Nya itu pasti terlaksana. Tidak ada kehendak bagi hamba-Nya melainkan memang apa yang dikehendaki-Nya. Apa yang Dia kehendaki, pasti terjadi. Dan apa yang tidak Dia kehendaki tak akan terjadi.6
Dari Abu Abdul Rahman Abdullah ibn Mas'ud r.a. beliau berkata: Rasulullah SAW telah bersabda, dan Baginda adalah seorang yang benar lagi dibenarkan (yaitu dipercayai):
Sesungguhnya setiap orang di kalangan kamu dihimpunkan kejadiannya dalam perut ibunya selama 40 hari berupa air mani, kemudian menjadi segumpal darah selama tempoh yang sama, kemudian menjadi seketul daging selama tempoh yang sama, kemudian dikirimkan kepadanya seorang malaikat lalu dia menghembuskan padanya ruh dan dia diperintahkan dengan 4 kalimat; yaitu supaya menulis rezekinya, ajalnya, amalannya dan adakah dia celaka atau bahagia.


  1. Talkhis Syarh al-‘Aqidah al-Tahawiyyah; oleh al-Allamah Muhammad Anwar al-Badakhsyani
Demi Allah Yang tiada Tuhan melainkanNya, sesungguhnya salah seorang dari kalangan kamu akan beramal dengan amalan ahli syurga, sehingga jarak antaranya dan syurga tidak lebih dari sehasta, lalu dia didahului oleh ketentuan tulisan kitab lantas dia mengerjakan amalan ahli neraka lalu dia memasuki neraka. Dan sesungguhnya salah seorang dari kalangan kamu akan beramal dengan amalan ahli neraka, sehingga jarak antaranya dengan neraka tidak lebih dari sehasta, lalu dia didahului oleh ketentuan tulisan kitab lantas dia mengerjakan amalan ahli syurga lalu dia memasuki syurga.
Hadis riwayat Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.7
Maka segala perbuatan telah ditakdirkan tidak akan berlaku perubahan sedikitpun di atas apa yang tertulis di Lauhul Mahfuz. Maka usaha itu adalah perkara asing, manusia perlu berusaha bukan sebab usaha itu akan mengubah takdir tetapi sebab tidak ada orang yang mengetahui apa yang ditakdirkan oleh Allah.
Allah berfirman:-
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ:
“Allah menciptakan kalian dan Allah menciptakan perbuatan kalian” 8

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إن الله صانع كل صانع وصنعته
“Sesungguhnya Allah pencipta setiap pelaku perbuatan dan perbuatannya” (HR. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 188. Dishahihkan Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah No. 1637, Al Hakim juga menshahihkan, dan disepakati Adz Dzahabi)


  1. Hadith 40 Imam Nawawi Hadith ke-4
  2. QS As Shaffat :96
Allah juga berfirman lagi:-
قُلْ فَلِلَّهِ الْحُجَّةُ الْبَالِغَةُ فَلَوْ شَاءَ لَهَدَاكُمْ أَجْمَعِينَ:
“Katakan! Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat, maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.9
Maka boleh difahami disini ayat qur’an di atas bukan berarti secara mutlak usaha itu akan mengubah takdir tetapi usaha yang kita lakukan adalah apa yang Allah telah takdirkan dan juga hasil dari usahapun seperti apa yang Allah takdirkan.
Boleh berlaku kita nak pergi menunaikan Haji tetapi Allah tidak takdirkan kita untuk pergi menunaikan Haji sedang kita dah berazam maka pada kedaan ini kita perlukan izin Allah untuk lakukan walaupun perkara baik. Dalam kata lain Allah tidak takdirkan kita untuk pergi Menunaikan Haji sedang pahala bagi haji yang sempurna akan di perolei karena niat itu. Begitu juga dalam keadan satu orang yang berazam sunguh-sunguh untuk mencuri; tetapi Allah tidak takdirkan dia untuk curi maka dia tetap tidak akan dapat mencuri tetapi dari segi dosa dia tetap akan dapat dosa seolah-olah dia telah mencuri.
Hadith:-
Daripada Abu al-'Abbas, Abdullah ibn Abbas, r.a beliau berkata Aku pernah duduk di belakang Nabi SAW pada suatu hari, lalu Baginda bersabda kepadaku: Wahai anak! Sesungguhnya aku mahu ajarkan engkau beberapa kalimah: Peliharalah Allah niscaya Allah akan memeliharamu. Peliharalah Allah niscaya engkau akan dapati Dia di hadapanmu.


  1. QS.Al-:An’am: 149
Apabila engkau meminta, maka mintalah dari Allah. Apabila engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan dengan Allah. Ketahuilah bahawa kalau umat ini berkumpul untuk memberikan sesuatu manfaat kepadamu, mereka tidak akan mampu memberikanmu manfaat kecuali dengan suatu perkara yang memang Allah telah tentukan untukmu. Sekiranya mereka berkumpul untuk memudharatkan kamu dengan suatu mudharat, niscaya mereka tidak mampu memudharatkan kamu kecuali dengan suatu perkara yang memang Allah: telah tentukannya untukmu. Pena-pena telah diangkatkan dan lembaran-lembaran telah kering (dakwahnya). Hadis riwayat al-lmam al-Tirmizi. Beliau berkata: la adalah Hadis Hasan Sohih.10

2.2 HUBUNGAN IKHTIAR DENGAN QADHA DAN QADAR

Beriman kepada takdir itu akan memberikan pelajaran kepada manusia bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini berjalan dengan kebijaksanaan yang telah digariskan oleh zat yang maha tinggi, Allah SWT. Oleh sebab itu, manusia yang tertimpa musibah tidak perlu terlalu menyesalinya, sebab hal itu adalah kehendak Allah, harus diterima dengan ikhlas. Sebaliknya manusia yang ditimpahi rahmat tidak boleh terlalu bergembira sehingga lupa daratan.
Pada suatu hari Rasulullah Saw. Masuk kerumah Ali r.a sehabis sholat isya. Saat itu dilihat menantunya sudah masuk tidur, meski masih terlalu dini Beliau bersabda: “Alangkah baiknya kalau kamu bangun dari sebagian waktu malam (untuk bersembahyang sunnat). Ali ra menjawab: Ya Rasulullah, diri kita semua ini adalah dalam genggaman kekuasaan Allah. Jikalau tuhan menghendaki tentu dilimpahkan kerahmatan-Nya dan jikalau Tuhan menghendaki tentu ditariknya kembali. Mendengar jawaban itu Rasulullah Saw. Tampak marah, beliau lalu keluar sambil memukul-mukul pahanya dan bersabda: “Sesungguhnya manusia itu banyak sekali membantah”.11

10.      Hadith 40 Imam Nawawi Hadith ke-19
11.      Q.S. AL-Kahfi,13:54
Pernah pula terjadi bahwa pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khatab r.a, terjadi suatu pencurian. Setelah pencuri itu tertangkap dan dibawa kedepan Umar, lalu ditanya: “Mengapa engkau mencuri? Tiba-tiba pencuri menjawab: “Memang Allah sudah menakdirkan ini atas diriku”. Marah sekali beliau mendengar jawaban orang itu, kemudian berkata: “Pukul saja orang itu tiga puluh kali dengan cemeti, setelah itu potonglah tangannya!” orang-orang yang ada di situ bertanya: “Mengapa hukumannya diberatkan seperti itu? Umar ra menjawab: “ Ya, itulah yang tepat”. Ia mencuri dan wajib dipukuli tiga puluh kali karena berdusta atas nama Tuhan.
Dari firman Allah maupun kisah-kisah tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa takdir itu sama sekali tidak boleh digunakan untuk landasan bertawakkal yang tidak sewajarnya. Tidak boleh pula dia dijadikan sebab untuk melakukan kemaksiatan, bahkan tidak boleh diartikan sebagai suatu paksaan Tuhan kepada seorang hamba-Nya. Sebaliknya, takdir itu semestinya dianggap sebagai tantangan untuk memperkuat keinginan atau cita-cita. Siswa atau mahasiswa yang tidak pandai, misalnya, sebaliknya merasa mendapat tantangan untuk meningkatkan kepandaiannya, yaitu dengan menambah semangat serta waktu belajarnya. Dari situ dapat pula diambil pelajaran bahwa takdir itu dapat ditolak dengan ikhtiar, misalnya rasa lapar dapat dilawan dengan makan, dahaga dilawan dengan minum, sakit dilawan dengan pengobatan sampai sehat kembali, dan kebodohan dilawan dengan semangat serta giat belajar.
Perlu diketahui bahwa manusia tidak dapat mengetahui takdir (ketentuan final) nya secara pasti, karena dia hanya tertulis di Lauh Mahfudz (Q.S. al-hadid, 57:22-23).12 Maka dengan begitu terbuka kesempatan bagi manusia untuk menjadi kreatif dan dinamis dalam berikhtiar. Bahkan Allah memberikan kepada manusia kesempatan untuk berusaha merubah nasib (takdir) yang melekat pada dirinya, sebagaimana firman Allah yang artinya: “Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada dirinya sendiri.”13

12.      Q.S. AL-Hadid. 57:22-23
13.      Q.S. AL-Ra’ad, 13:11


2.3 QADHA DAN QADAR MENURUT ALIRAN TEOLOGI ISLAM

Adapun didalam teologi islam terkait dengan qadha dan qadar yakni berkaitan dengan masalah perbuatan manusia, perbuatan tuhan, dan ketetapan-ketetapannya yakni dalam aliran qadariah, jabariah, mu’tazilah, asy-ariyah, maturidiah dan ahli sunnah wal jama’ah. Dengan pemikiran-pemikiran mereka yakni:
1)        Aliran qadariyah
Ditinjau dari segi ilmu bahasa, kata qadariah berasal dari kata: qadara-yaqdiru-alqadru : atho’atu wal quwatu. Sedangkan menurut terminology, al-qadariah adalah suatu kaum yang tidak mengakui adanya qadar bagi tuhan. Mereka menyatakan bahwa tiap-tiap hamba Tuhan adalah pencipta bagi segala perbuatannya; dia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri. Golongan yang melawan pendapatnya mereka ini adalah al-jabariah.
Ghailan al-damasyqi berpendapat bahwa manusia sendirilah yang berkuasa atas perbuatan-perbuatannya. Manusia melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaan sendiri dan manusia sendiri pulalah yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatan jahat atas kemauan dan dayanya sendiri.14
Yakni mempunyai istitha’ah. Selagi manusia hidup, dia mempunyai istitha’ah (daya) maka dia berkuasa atas segala perbuatannya.15 manusia dalam hal ini mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri. Sebab itu, dia berhak mendapat pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan sebaliknya dia juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Dengan demikian, nasib manusia tidak ditentukan oleh tuhan terlebih dahulu dan ditetapkan sejak zaman azali seperti pendapat yang dipegangi oleh paham al-jabariah.



14.      Harun nasution, teologi islam: Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, h 31
15.      Ali Musthafa al-Ghurabi, tarikh al-firaq al-islamiyah, (mesir: maktabah Muhammad ali shubaih wa auladih,t.t), hlm 201

2)        Aliran al-jabariah
Al-jabariah berasal dari kata jabara, berarti memaksa atau terpaksa. Menurut al-syahrastani, al-jabr berarti meniadakan perbuatan manusia dalam arti yang sesungguhnya (nafy al-fi’il ‘al al’abd haqiqah) dan menyandarkan perbuatan itu kepada tuhan.16 menurut paham ini, manusia tidak kuasa atas segala sesuatu. Karena itu, manusia tidak dapat diberi sifat ‘’mampu’’ (istitha’ah). Manusia sebagaimana dikatakan oleh jahm bin shafwan, terpaksa atas perbuatan-perbuatannya tanpa ada kuasa (qudrah), kehendak, (iradah), dan pilihan bebas (al-ikhtiyar). Tuhanlah yang menciptakan perbuatan manusia, sebagaimana perbuatan tuhan atas benda-benda mati. Oleh karena itu, perbuatan yang harus disandarkan manusia harus dipahami secara majazy, seperti halnya perbuatan yang disandarkan pada benda-benda. Misalnya ungkapan, ‘’pohon berbuah, air mengalir, dan batu bergerak,’’17
Jadi, nama al-jabariyah diambil dari kata jabara yang mengandung arti terpaksa. Dalam aliran ini, sebagaimana dijelaskan Harun Nasution, terdapat paham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah inggris, paham ini disebut fatalisme atau predestination. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan sejak semula oleh qadha dan qadar Tuhan.18
Al-Syahrastani membagi al-jabariah ke dalam dua kelompok , yaitu al-jabariah ekstrim (al-khalisah) dan al-jabariah moderat (al-mutawassithah). Al-jabariyah ekstrim tidak menetapkan perbuatan kepada manusia sama sekali, tidak pula kekuasaan atau daya untuk menimbulkan perbuatan. Sementara al-jabariah moderat mengakui andil manusia atas perbuatannya.19



16.      abu al-fath Muhammad abdul karim bin abi bakr ahmad al-syahrastani, al-milal wa al-nihal, (Beirut : dar al fikr,t,th,),hlm.115
17.      abu al fath Muhammad abdul karim bin abi bakr ahmad al-syahrastani, al-milal wa al-nihal, hlm 87. lihat pula Muhammad abu zahrah, tarikh al-mazahib al-islamiyah, (kairo:dar al-fikr al-arabi, t,th,), jilid I, hlm. 115.
18.      harun nasution, teologi islam: aliran, sejarah analisa perbandingan, (Jakarta: UI press,1972), hlm, 31.
19.      abu al fath Muhammad abdul kaarim bin abi bkr ahmad al-syahrastani, al-milal wa al-nihal, hlm,85.

3)        Aliran mu’tazilah
Mu’tazilah berasal dari kata (I’tazala-ya’tazilu) yang berarti memisahkan diri atau menjauhi atau menyisihkan diri. Kaum mu’tazilah disebut juga dengan mutakallimin karena mereka banyak menggunakan Ilmu Kalam dalam mempertahankan pemikiran mereka. Bila ditinjau dari sejarah ilmu kalam, sebab-sebab timbulnya ilmu baru ini dapat dibagi atas: sebab-sebab intern dan sebab-sebab ekstern. Al –mu’tazilah sebagai aliran kaum rasional, disamping memberikan daya yang besar kepada akal, juga memberikan kebebasan kepada manusia untuk melaksanakan kehendak dan perbuatan. Karenanya menurut paham mu’tazilah, kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan tidak bersifat mutlak lagi, tetapi sudah terbatas. Keterbatasan kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan itu terjadi oleh adanya pembatasan yang diciptakan-Nya sendiri, yaitu dengan menciptakan kebebasan berkemauan dan berbuat bagi manusia, hukum alam (sunnatullah), norma-norma keadilan, dan kewajiban tuhan itu terhadap manusia.1
Paham tentang kebebasan berkemauan dan berbuat bagi manusia dalam pandangan mu’tazilah, bertitik tolak dari pandangan bahwa perbuatan manusia tidaklah diciptakan oleh tuhan, tetapi manusia sendiri yang menciptakannya.2
Konsekuensi dari pemberian kebebasan berkemauan dan berbuat kepada manusia, berarti tuhan telah membatasi kehendak mutlak-Nya sendiri, yang kalau dilanggarnya akan menghilangkan keadilan-Nya.
Dengan kebebasan berkemauan dan berbuat, berarti manusia merdeka dalam  menentukan nasibnya sendiri. Kebebasan ini akan membawa kepada tanggung jawab pribadi. Segala perbuatannya baik maksiat yang mendatangkan dosa, maupun ketaatan yang mendatangkan pahala adalah tanggung jawab yang harus dipikul oleh seseorang.


1.        Harun nasution, teologi islam : aliran, sejarah analisa perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1972), hlm. 119
2.        abdul jabbar al-qadhi, syarh al-ushul al khamsah, (kairo: maktabah al-wahbiyah, 1965), hlm. 323.


4)      Al-as’ariyah
Al’asy’ari berpendapat bahwa perbuatan manusia itu diciptakan oleh Tuhan. Ini bertolak belakang dengan pendapat mu’tazilah yang mengatakan bahwa perbuatan manusia diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, al-asy’ari menggunakan istilah al-kasb (acquisition, perolehan). Al-kasb adalah sesuatu yang timbul dari al-muktasib. Yang dimaksud dengan kasb disini adalah ‘’berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan’’.
Al-asy’ari tidak menyetujui paham al-mu’tazilah tentang keadilan Tuhan. Al-asy’ari mengatakan bahwa tidak ada satu pun yang wajib bagi Tuhan. Tuhan adalah berkuasa mutlak. Andaikala Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam surga, hal ini bukan berarti Dia tidak adil. Sebaliknya, andaikata Tuhan memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka maka Tuhan tidak dapat dikatakan bersifat zalim,1 Tuhan adalah penguasa mutlak, bisa berbuat apa saja yang Dia inginkan.
Pendapat al-asy’ari tentang kekuasaan Tuhan diatas, sekaligus juga menolak paham al-manzilah bain al manzilatain yang dianut oleh aliran al-mu’tazilah. Menurut al-mu’tazilah, orang yang berbuat dosa besar tidak mukmin dan tidak kafir. Apabila orang tersebut meninggal dunia akan dimasukkan ke dalam neraka, kecuali dia sebelumnya bertaubat dengan taubatan nasuha. Bagi pembuat dosa besar yang masuk neraka, siksaan yang diberikan kepada mereka lebih ringan dari pada siksaan orang-orang kafir. Bagi pembuat dosa besar yang bertaubat, Tuhan akan menerima taubatnya dan memasukkannya kedalam surga. Menurut al-asy’ari orang yang berbuat dosa besar tetap mukmin. Apabila pembuat dosa besar itu meninggal dunia sebelum sempat bertaubat, hukumnya diserahkan kepada Allah SWT, dengan beberapa kemungkinan:
a.       Allah mengampuni pelaku dosa besar tersebut dengan rahmat-Nya sehingga pelaku dosa besar itu dimasukkan ke surga.
b.      Pelaku dosa besar itu mendapat syafaat dari Nabi, berdasarkan hadis “syafa’ata li ahli al-kabaari min ummati’’
1.        Abu al-fath Muhammad abdul karim bin Abi bkr ahmad al-syahrastani, al-milal wa al-nihal, hlm.101
c.       Allah akan menghukum pelaku dosa besar itu ke dalam neraka sesuai dengan dosa yang dilakukannya, kemudian Allah memasukkan ke dalam surga.2
Al-asy’ari juga menolak pendapat mu’tazilah yang mengatakan bahwa Allah wajib menerima taubat pembuat dosa besar. Menurut al-asy’ari, jika pembuat dosa besar bertaubat, Allah tidak wajib menerima taubatnya. Karena Allah yang membebani kewajiban terhadap makhluk-Nya maka tidak ada kewajiban atas-Nya.3
Kaum al-asy’ariah, karena percaya pada mutlaknya kekuasaan Tuhan, mempunyai tendensi yang sebaliknya mereka menolak paham mu’tazilah bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya. Bagi mereka perbuatan-perbuatan Tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam arti sebab yang mendorong Tuhan untuk berbuat sesuatu. Betul mereka akui bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan bagi manusia manusia dan bahwa Tuhan mengetahui kebaikan kebaikan dan keuntungan itu, tetapi pengetahuan maupun kebaikan serta keuntungan-keuntungan itu, tidaklah menjadi pendorong bagi Tuhan untuk berbuat.4 Tuhan berbuat semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain. Dengan demikian mereka mempunyai tendensi untuk meninjau wujud dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.

5)        Aliran Al-maturidiyah
Golongan al-maturidiyah, dalam memahami kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan terpecah menjadi dua kelompok, yaitu al-maturidiyah Samarkand dan al-maturidiyah Bukhara.
Al-maturidiayah Samarkand yang lebih banyak mempergunakan akal dalam pendapatnya sehingga lebih dekat dengan pemahaman mu’tazilah.



2.        Abu al-fath Muhammad abdul karim bin Abi bkr ahmad al-syahrastani, al-milal wa al-nihal, hlm.101
3.        Abu al-fath Muhammad abdul karim bin Abi bkr ahmad al-syahrastani, al-milal wa al-nihal, hlm.101
4.        ‘abduh, 558/9.


Menurut al-maturidi, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu hanya dibatasi oleh kebebasan manusia yang diberikan oleh Tuhan sendiri dan keadaan Tuhan yang menjatuhkan hukum sewenang-wenang tidak boleh terjadi.5
Untuk memperkuat pandangannya di atas, al-maturidiyah Samarkand mempergunakan dalil-dalil  naqli antara lain seperti dalam surat al-maaidah ayat 48, al-an’am ayat 149. Ayat-ayat ini, dipahami oleh al-maturidi bahwa Tuhan sebenarnya berkuasa membuat manusia yang ada di bumi menjadi beriman, atau membuat manusia berada dalam hidayah Allah. Namun, Allah tidak melakukannya disebabkan oleh kemerdekaan berkemauan dan berbuat apa yang memang ada pada diri manusia.
Lebih lanjut al-maturidiyah Bukhara ini menganut paham masyi’ah dan ridha yang memandang bahwa manusia melakukan perbuatan adalah kehendak Tuhan, namun tidak semuanya menurut ridha-Nya. Manusia melakukan perbuatan baiknya atas kehendak Tuhan dan ridha-Nya. Sebaliknya, bila manusia melakukan perbuatan jahat, hal itu juga merupakan kehendak Tuhan, tetapi bukan atas ridha-Nya.6
Dari keterangan diatas jelas bahwa al-maturidiyah Bukhara hampir sepaham dengan al-asy’ariyah.
Menurut al-bazdawi, Tuhan menciptakan kosmos ini bukan karena ada tujuan tertentu, namun Tuhan berbuat sekehendak hati-Nya.7
Dalam paham keadilan Tuhan, al-maturidiyah Bukhara mengambil posisi yang lebih dekat dengan al-asy’riyah. Al-maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa keadilan Tuhan haruslah dipahami dari konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.

5.        harun nasution, teologi islam: Aliran, sejarah analisa perbandingan, hlm. 122.
6.        Al-Dawwani, syarh al-‘aqaid adh-adhudiyah, dalam (ed), sulaiman dunya, al-sya’ilah Muhammad abduh bain al- falasifah wa al-kalam , (kairo: ‘Isa al-babi al-halabi, 1958), hlm. 42 abdurrahman al-badawi, madzahib al-islamiyah, hlm.125.
7.        Abu al-yusuf Muhammad al-bazdawi, kitab ushul al-Din, (kairo:’ Isa al-Babi al- halabi, 1963), hlm. 125

Secara jelas al-bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos. Tuhan berbuat sekehendak-Nya sendiri.8 ini berarti, menurut Harun Nasution, al-bazdawi berpendapat bahwa alam ini tidak di ciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia.9
Atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan pada kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak. Menurutnya, sesungguhnya berbuat buruk atas kehendak Tuhan, tetapi perbuatan itu tidak di ridhai Tuhan. Menentang ridha Tuhan tidak dapat dikatakan bahwa Tuhan bersifat tidak adil, kalau ia memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat.
Sedangkan bagi al-maturidiyah Samarkand, yang memunyai sikap dasar terhadap kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan sama dengan paham mu’tazilah. Aliran ini menggaris bawahi bahwa makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan zalim Tuhan terhadap manusia.
Tuhan tidak akan membalas kejahatan, kecuali dengan balasan yang seimbang dengan kejahatan itu. Tuhan tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya dan juga tidak memungkiri janji-janji-Nya yang telah di sampaikan kepada manusia.
Untuk mendukung pandangan tersebut al-maturidiyah menggunakan ayat al-qur’an sebagai penguat atas pemikirannya itu, yakni pada surat al-an’am ayat 160, yang artinya:
Barangsiapa yang membawa amal yang baik, baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (diragukan). (Q.S al-An’am (6):160)
Dan juga pada surat Al-Ra’ad ayat 13, yang artinya:
Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji-Nya. (Q.S Al-Ra’ad (13):31)



8.        abu al-yusuf Muhammad al-bazdawi, kitab Ushul al-Din, hlm.130
9.        Harun Nasution,  Teologi islam: aliran, sejarah analisa perbandingan, hlm. 124.

6)        Aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Aliran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ini adalah golongan teologi islam yang termasuk dalam kaumnya al-asy’ariyah dan kaum al-maturidiyah. Sebagai akibat dari perbedaan paham yang terdapat dalam aliran teologi islam mengenai soal kekuatan akal, fungsi wahyu, dan kebebasan serta kekuasaan manusia atas kehendak dan perbuatannya, terdapat pula perbedaan paham tentang kekuasaan dan kehendak Tuhan.
Bagi aliran yang berpendapat mengenai akal mempunyai daya besar dan manusia bebas dan berkuasa atas kehendak dan perbuatannya, kekuasaan dan kehendak Tuhan pada hakikatnya mutlak semutlak-mutlaknya. Bagi aliran yang berpendapat sebaliknya, kekuasaan dan kehendak Tuhan tetap bersifat mutlak, sedangkan bagi kaum mu’tazilah, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak lagi mempunyai sifat mutlak semutlak-mutlaknya.
Dalam menjelaskan kemutlakan kekuasaaan dan kehendak Tuhan ini, al-asy’ari dalam al-ibanah bahwa Tuhan tidak tunduk kepada siapa pun; diatas Tuhan tidak ada zat lain yang dapat membuat hukum dan dapat menentukan apa yang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan.1
Tuhan bersifat absolute dalam kehendak dan kekuasaan-Nya. Seperti kata al-Dawwani, Tuhan adalah pemilik (Al-Malik) yang bersifat absolut dan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya di dalam kerajaan-Nya dan tak seorang pun yang dapat mencela perbuatan-Nya.2 didalam pemikiran al-maturidiah juga sama dengan pendapatnya al-asy’ariyah karna mereka adalah satu kawasan atau satu persoalan dan pendapat dan pendapat mereka ini melahirkan aliran ahlus sunnah wal jama’ah.
Kemutlakan dan kekuasaan Tuhan dilihat dari kaum al-asy’ari bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tak terpikul pada diri manusia.3 Dan dari keterangan al-asy’ari sendiri, bahwa sekiranya Tuhan mewahyukan bahwa berdusta adalah baik, maka berdusta mestilah baik bukan buruk.4
1.        Harun Nasution,  Teologi islam: aliran, sejarah analisa perbandingan, hlm. 68
2.        ‘abduh, Muhammad, sulayman dunya (Ed.) hashiyah ‘ala al-‘aqaid al-‘adudiah, dalam al-shaykh Muhammad ‘aabduh bayn al-falasifah wa al-kalamiyin, kairo’isa al-halaabi, 1958. hlm. 546
3.        supra, 81
4.        LE systeme philosohpique des mu’tazilah, (selanjutnya disebut Le systeme) beyrouth, Les Letter Orientales, 1956, hlm. 82.
Ahlus sunnah wal jama’ah di dalam berpandangan mengenai qadha dan qadar sangat jelas bahwa mereka berpandangan Tuhan sebagai penentu dari apa-apa yang di perbuat manusia. Pendapat al-asy-ari mewakili pendapatnya ahlus sunnah wal jama’ah yang memandang manusia itu hanyalah berfungsi sebagai pelaku dari amalan-amalan itu saja. Allah yang menciptakan suatu amalan ketika melakukannya. Misalnya Allah ta’ala menjadikan larangan di waktu manusia itu makan, menciptakan kepandaian di waktu manusia itu belajar, dan seterusnya. Jadi tugas manusia itu tidak ada lain kecuali melaksanakan apa saja perbuatan itu.
Dan Tuhan menyertai apa yang di perbuatnya itu, apakah atas dasar perindah agama, dia berhaki memperoleh pahala atau siksa, pujian atau celaan. Nampaknya pendapat yang ketiga ini merupakan garis tengah antara kedua pendapat yang lain. Kalau merendahkan menganggap manusia tidak memiliki kebebasan menentukan apapun untuk dirinya sendiri.

2.4    MENGETAHUI HIKMAH DARI QADHA DAN QADAR

Di dalam Al-qur’an Surat Al- Hadid, 57 : 22-23
Yang artinya:
‘’tidak suatu bencanapun yang menimpa dibumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh mahfudz) sebelum kami menciptakan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah. (kami jelaskan dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nyak kepadamu, dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi menggambarkan diri.’’
Dari firman di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan hikmah dari qadha dan qadar sebagai berikut:
1.        Mendorong untuk giat dan semangat bekerja1


1.        Drs, Zainuddin, AR, dan Drs Aziz Dahlan, 1992, Aqidah Akhlak, untuk madrasah aliyah kelas 1, Jakarta, departemen agama. hlm. 277.
Dalam ayat diatas bahwa disebutkan bahwa, setiap bencana yang terjadi di bumi ini dan yang menimpa manusia, sebelumnya telah tercatat terlebih dahulu di dalam ‘’lauh mahfudz’’atau papan tulis yang terpelihara, tidak diketahui manusia. Tidak ada seorang manusiapun yang dapat mengetahui dengan pasti taqdir dirinya, apakah ia bodoh atau pandai, apakah ia akan bahagia atau sengsara.
Kalau taqdir itu telah diketahui sebelumnya, misalnya taqdir “bodoh”, maka manusia yang mendapatkan taqdir bodoh itu akan pasif, tidak akan mau belajar agar menjadi pandai. Menurutnya percuma saja belajar giat kalaupun ketentuan akhirnya bodoh juga. Sebaliknya dengan tanpa mengetahui taqdir bodohnya itu, manusia dapat mendorong untuk selalu giat belajar agar menjadi pandai. Dan ia masih dapat berharaf.
Menurut al-bazdawi, Tuhan menciptakan kosmos ini bukan karena adanya tujuan tertentu, namun berbuat sekehendak hati-Nya.1 Tuahn mempunyai kekuasaan mutlak dalam berbuat dan menentukan segala sesuatu, dan tidak ada siapapun yang dapat manghalangi-Nya (menghalangi kehendak Tuhan). Tetapi manusia akan mendapat balasan dengan apa yang diperbuat-Nya  karena menurut mu’tazilah bahwa keterbatasan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu terjadi oleh adanya pembatasan yang diciptakan-Nya sendiri, yaitu dengan menciptakan kebebasan berkemauan dan berbuat bagi manusia, hukum alam (sunnatullah), norma-norma keadilan, dan kewajiban Tuhan itu sendiri terhadap manusia.2
Segala sesuatu ada timbal baliknya, saling berkaitan dengan yang lainnya, siang dan malam, atas dan bawah, neraka dan surga, kebaikan dan keburukan, manusia yang melakukan perbuatan tercela akan mendapakan dosa nantinya, sebaliknya jika dia melakukan perbuatan baik maka pahala yang mereka dapatkan sehingga yang hanya satu adalah Sang pencipta itu sendiri Allah SWT.




1.        Drs, Zainuddin, AR, dan Drs Aziz Dahlan, 1992, Aqidah Akhlak, untuk madrasah aliyah kelas 1, Jakarta, departemen agama. hlm.277.
2.        Harun nasution, teologi islam : aliran, sejarah analisa perbandingan, (Jakarta:UI Press, 1972), hlm. 119
3.        Mendorong rasa percaya diri dan optimis
Setiap orang harus yakin dan percaya kepada qadha dan qadar. Orang yang percaya kepada qadha dan qadar akan dapat menerima apapun yang menimpa dirinya dengan ikhlas dan tawakkal. Di lain pihak, dia tidak akan putus harapan, sebab meyakini janji Tuhan berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kukabulkan dan Innallaha ma’a shobirin. Maka dia akan selalu menghadapi segala macam persoalan yang dijumpai dengan penuh harap atas pertolongan Tuhan. Ia yakin terhadap ketentuan dan kekuasaan Allah karena tidak ada kekuasaan selain diri-Nya dan tidak ada seorangpun yang menghalang-halangi kehendak-Nya. Ungkapan keyakinan semacam itu sering diucapkan seorng muslim pada saat memanjatkan doanya kehadirat Ilahi setelah selesai ibadah sholat.
4.        Dapat terhindar dari rasa putus asa
Tidak jarang terjadi di dalam lingkungan masyarakat bahkan tertulis dalam berita di media massa, seseorang yang mengalami kegagalan dalam mencapai sesuatu yang dicita-citakannya menjadi resah dan gelisah. Dia menjadi putus asa dan bahkan ada yang diantaranya yang berusaha untuk lari dari persoalan yang dihadapinya dengan mengambil jalan pintas, yakni melakukan bunuh diri.
Bunuh diri hanya pantas dilakukan oleh orang yang tidak beriman kepada qadha dan qadar saja. Kalaulah mengalami kegagalan dalam meraih sesuatu yang dicita-citakannya ia tidak akan putus asa karena ia mempunyai keyakinan bahwa kewajiban dirinya hanya sekedar berusaha sedangkan keputusan berhasil atau tidaknya ditentukan oleh Allah Swt. Ia akan berlindung dan berserah diri kepada-Nya. Dengan cara demikian terhindarlah hatinya dari dihinggapi perasaan resah dan gelisah yang dapat membawa dirinya putus asa.3





3.   Drs, Zainuddin, AR, dan Drs Aziz Dahlan, 1992, Aqidah Akhlak, untuk madrasah aliyah kelas 1, Jakarta, departemen agama. hlm. 279

4.    Menghilangkan sifat kesombongan
Sifat sombong pada seseorang biasanya muncul bersamaan dengan munculnya perasaan lebih, merasa lebih kaya, merasa lebih pandai, lebih unggul dan lain sebagainya. Orang yang sombong itu tidak menyadari bahwa berbagai macam kelebihan yang dari Allah Swt.
Kalau orang yang beriman kepada qadha dan qadar memperoleh kelebihan rizki, dia tidak lantas menjadi lupa dan menjadi sombong. Ia sadar bahwa kelebihan yang diperolehnya semata-mata anugrah yang dibrikan oleh Allah, ketentuan Allah pada dirinya yang harus diterima dengan rasa syukur.
Orang yang beriman kepada qadha dan qadar yakin dan percaya bahwa kelebihan itu merupakan amanat dan sekaligus cobaan baginya, apakah dia termasuk golongannya orang-orang yang bersyukur. Dengan demikian orang yang beriman kepada qadha dan qadar itu jauh dari kesombongan.4
Untung dan baiknya itu dari Allah Ta’ala. Jika kita ditanyai orang, bagaimanakah kepercayaanmu dengan qadha dan qadar Allah Swt ? kami percaya dengan qadar, yakni perhinggaan atau taqdir Allah. Bahwasanya segala apa yang terjadi atas dari seseorang itu semuanya dari Allah Ta’ala, yakni telah ditakdirkan Allah yang menyusun dan menentukan segala yang telah terjadi atau yang terjadi. Dan bagi segenap manusia itu ada usaha dan ikhtiar. Usaha dan ikhtiar manusia itu tak dapat tercapai apa yang dimaksudkannya, jika tidak bersetuju dengan kehendak Allah yang memiliki sekalian Alam ini.
Segala fikiran dan usaha-usaha manusia yang telah tercapai bukan karena kepandaiannya, hanya sesungguhnya telah ditentukan Allah yang maha adil dan maha kuasa. Bahkan akal dan fikiran yang ada padanya itu, semuanya karunia dan anugrah dari Allah Swt.5
4.   Drs, Zainuddin, AR, dan Drs Aziz Dahlan, 1992, Aqidah Akhlak, untuk madrasah aliyah kelas 1, Jakarta, departemen agama. hlm..280.
5.     S.A. Zainal ‘Abidin, Tauhid dan Fiqih “Kunci Ibadah”, C.V TOHA PUTRA: Semarang, 1951. hlm.21.






BAB III

PENUTUP

3.1.    KESIMPULAN
Dari beberapa pendapat yang telah disampaikan dapat kita simpulkan sebagai berikut:
1.      Meyakini qadha dan qadar, berarti meyakini adanya aturan dan ketentuan Allah Swt.
2.      Untuk menentukan qadha dan qadar yang akan menimpa seseorang, diperlukan adanya ikhtiar dari orang yang bersangkutan.
3.      Di antara hikmah beriman kepada qadha dan qadar itu aialah:
a.       Mendorong orang untuk giat dan semangat bekerja
b.      Menumbuhkan rasa percaya diri dan ketenangan
c.       Dapat terhindar dari raa putus asa
d.      Menghilangkan kesombongan
4.      Beberapa pendapat yang berhubungan dengan qadha dan qadar:
A.    Qadariyah: manusia itu mukhayyar, bukan musayyar. Segala perbuatan atau amalan yang dilakukannya sepenuhnya menurut kehendaknya sendiri.
B.     Jabariyah: manusia itu hanyalah musayyar, bukan mukhayyar. Segala perbuatan atau amalan yang dilakukan oleh manusia itu hanya semata-mata karena disuruh, ia tidak dapat memilih amalan sesuai dengan kehendaknya sendiri.
C.     Mu’tazilah: kehendak dan kekuasaan mutlak tuhan tidak bersifat mutlak lagi, tetapi sudah terbatas. Keterbatasan kekuasaan dan kehendak mutlak tuhan itu terjadi oleh adanya pembatasan yang diciptakan-Nya sendiri, yaitu dengan menciptakan kebebasan berkemauan dan berbuat bagi manusia, hukum alam (sunnatullah), norma-norma keadilan, dan kewajiban Tuhan itu terhadap manusia.
D.    Asy’ariyah: Untuk menggambarkan hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, al-asy’ari menggunakan istilah al-kasb (acquisition, perolehan). Al-kasb adalah sesuatu yang timbul dari al-muktasib. Yang dimaksud dengan kasb disini adalah ‘’berbarengnya kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan’’.
E.     Maturidiah: Menurut al-maturidi, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu hanya dibatasi oleh kebebasan manusia yang diberikan oleh Tuhan sendiri dan keadaan Tuhan yang menjatuhkan hukum sewenang-wenang tidak boleh terjadi.
F.      Ahlus sunnah wal jama’ah: manusia itu hanya berfungsi sebagai pelaku dari amalan-amalannya. Artinya ia dapat memilih amalan, apa yang ingin diperbuatnya, tetapi ketentuan Allah berlaku tehadapnya.
Dari pemaparan-pemaparan ini kita bisa menjadikan acuan untuk menjadikan kehidupan kita menjadi lebih baik dan besemangat di dalam beribadah sebagai hamba-Nya.


















DAFTAR PUSTAKA

 Nasution, Harun. 1972 . Teologi Islam : Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI Press.
--------------------. 1986.Islam ditinjau dari berbagai aspeknya. Jakarta: UI Press.
Awing, Abdul Hadi. (2008). Beriman kepada Qada dan Qadar. Batu Caves: PTS Islamika. ISBN 9831921984.
J. M. Cowan (ed.) (1976). The Hans Wehr Dictionary of Modern Written Arabic. Wiesbaden, Jerman: Spoken Language Services. ISBN 0-87950-001-8
Al-Khandahlawi, Maulana Muhammad Yusuff. (2009). Muntakhab Ahadith. Sri Petaling: KLANG BOOK CENTER. ISBN 9836101357.
Zainal ‘Abidin, S.A (1951). Tauhid dan Fiqih. C.V. TOHA PUTRA SEMARANG
Nurdin, amin. Fauzi Abbas, Afifi. Sejarah Pemikiran Islam, Jakarta: AMZAH, 2011. ISBN 978-602-8689-52-6.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar